Selama beberapa dekade terakhir, keberadaan perempuan di industri konstruksi Indonesia bukan lagi hal yang sepenuhnya asing, terutama pada posisi white collar seperti arsitek, insinyur, quantity surveyor, dan manajer proyek. Perempuan di jalur ini relatif lebih diterima, seiring dengan meningkatnya jumlah lulusan perempuan dari jurusan teknik sipil dan arsitektur. Namun, di balik kemajuan tersebut, pekerja konstruksi perempuan pada level blue collar—seperti tukang, mandor lapangan, atau operator alat berat—masih tergolong langka di Indonesia. Fenomena ini membuat pembahasan tentang peluang dan tantangannya menjadi semakin menarik.

Industri konstruksi terus tumbuh dan kebutuhan tenaga kerja terampil semakin besar, sehingga peluang bagi perempuan untuk terlibat di dalamnya sebenarnya sangat terbuka. Pemerintah melalui Kementerian PUPR dan LPJK juga telah mendorong kesetaraan kesempatan kerja, termasuk menyediakan program pelatihan yang bisa diikuti oleh perempuan. Karakteristik seperti ketelitian, kecermatan, dan kemampuan komunikasi yang baik dapat menjadi nilai tambah di lapangan, terutama dalam pekerjaan yang menuntut presisi detail atau koordinasi antar tim. Kehadiran perempuan di ranah ini juga dapat menjadi inspirasi dan menghadirkan role model baru yang mematahkan stereotip gender dalam dunia kerja. Bahkan, peluang juga terlihat dari sisi kebutuhan konsumen, misalnya banyak pemilik rumah yang notabene ibu rumah tangga atau wanita single yang tinggal di apartemen akan merasa lebih nyaman jika tukang yang datang untuk melakukan perbaikan adalah tukang perempuan. Faktor kenyamanan dan rasa aman ini membuka ceruk pasar yang belum banyak digarap di Indonesia.
Meski demikian, tantangan yang dihadapi juga tidak ringan. Budaya dan persepsi sosial masih memandang pekerjaan konstruksi lapangan sebagai pekerjaan laki-laki, sehingga perempuan seringkali harus membuktikan kemampuan mereka lebih keras. Kondisi kerja yang menuntut kekuatan fisik, jam kerja panjang di luar ruangan, serta minimnya fasilitas kerja yang ramah perempuan, seperti ruang ganti dan toilet khusus, menjadi hambatan tersendiri. Selain itu, kesempatan karier di lapangan kadang lebih sulit diraih oleh perempuan, terutama di perusahaan yang belum memiliki kebijakan kesetaraan gender yang kuat.
Kehadiran pekerja konstruksi perempuan, khususnya di level blue collar, masih jarang di Indonesia, namun peluang untuk berkembang sebenarnya terbuka lebar. Dukungan dari pemerintah, dunia usaha, dan perubahan pandangan masyarakat akan menjadi kunci untuk memperbanyak perempuan yang berani menembus batas ini. Bagi perempuan yang berminat, langkah awal bisa dimulai dengan mengikuti pelatihan berbasis Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI), memperoleh sertifikasi resmi, dan membangun jaringan profesional di industri konstruksi. Dengan langkah ini, bukan tidak mungkin, ke depan pekerja konstruksi perempuan akan menjadi bagian yang lebih terlihat dan diakui dalam membangun masa depan infrastruktur Indonesia.
Leave a Reply